Dasar
Beriman Kepada Allah SWT
1.Mengimani Wujud Allah
Wujud Allah
telah dibuktikan oleh fitrah, akal, syara’, dan indera.
a. Bukti fitrah tentang wujud Allah
adalah bahwa iman kepada sang Pencipta merupakan fitrah setiap makhluk, tanpa
terlebih dahulu berpikir atau belajar. Tidak akan berpaling dari tuntutan
fitrah ini, kecuali orang yang di dalam hatinya terdapat sesuatu yang dapat
memalingkannya. Rasulullah bersabda:
“Semua bayi
yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu bapaknyalah yang meyahudikan,
mengkristenkan, atau yang memajusikannya.” (HR. Al Bukhari)
b. Bukti akal tentang wujud Allah
adalah proses terjadinya semua makhluk, bahwa semua makhluk, yang terdahulu
maupun yang akan datang, pasti ada yang menciptakan. Tidak mungkin makhluk
menciptakan dirinya sendiri, dan tidak mungkin pula tercipta secara kebetulan.
Tidak mungkin wujud itu ada dengan sendirinya, karena segala sesuatu tidak akan
dapat menciptakan dirinya sendiri. Sebelum wujudnya tampak, berarti tidak ada.
Semua
makhluk tidak mungkin tercipta secara kebetulan, karena setiap yang diciptakan
pasti membutuhkan pencipta. Adanya makhluk-makhluk itu di atas undang-undang
yang indah, tersusun rapi, dan saling terkait dengan erat antara
sebab-musababnya dan antara alam semesta satu sama lainnya. Semua itu sama
sekali menolak keberadaan seluruh makhluk secara kebetulan, karena sesuatu yang
ada secara kebetulan, pada awalnya pasti tidak teratur.
Kalau
makhluk tidak dapat menciptakan diri sendiri, dan tidak tercipta secara
kebetulan, maka jelaslah, makhluk-makhluk itu ada yang menciptakan, yaitu Allah
Rabb semesta alam.
Allah
menyebutkan dalil aqli (akal) dan dalil qath’i dalam surat Ath Thuur:
“Apakah
mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri
mereka sendiri)?” (Ath Thuur 35)
Dari ayat
di atas tampak bahwa makhluk tidak diciptakan tanpa pencipta, dan makhluk tidak
menciptakan dirinya sendiri. Jadi jelaslah, yang menciptakan makhluk adalah
Allah.
Ketika
Jubair bin Muth’im mendengar dari Rasulullah yang tengah membaca surat Ath
Thuur dan sampai kepada ayat-ayat ini:
“Apakah
mereka diciptakan tanpa sesuatu pun, ataukah mereka yang menciptakan (diri
mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu?
Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). Ataukah di sisi
mereka ada perbendaharaan Rabbmu atau merekakah yang berkuasa?” (Ath Thuur
35-37)
“Ia, yang
tatkala itu masih musyrik berkata, “Hatiku hampir saja terbang. Itulah
permulaan menetapnya keimanan dalam hatiku.” (HR. Al Bukhari)
Dalam hal
ini kami ingin memberikan satu contoh. Kalau ada seseorang berkata kepada Anda
tentang istana yang dibangun, yang dikelilingi kebun-kebun, dialiri
sungai-sungai, dialasi oleh hamparan karpet, dan dihiasi dengan berbagai
perhiasan pokok dan penyempurna, lalu orang itu mengatakan kepada Anda bahwa
istana dengan segala kesempurnaannya ini tercipta dengan sendirinya, atau
tercipta secara kebetulan tanpa pencipta, pasti Anda tidak akan mempercayainya,
dan menganggap perkataan itu adalah perkataan dusta dan dungu. Kini kami
bertanya pada Anda, masih mungkinkah alam semesta yang luas ini beserta apa-apa
yang berada di dalamnya tercipta dengan sendirinya atau tercipta secara
kebetulan?!
c. Bukti syara’ tentang wujud Allah bahwa seluruh kitab langit berbicara
tentang itu. Seluruh hukum yang mengandung kemaslahatan manusia yang dibawa
kitab-kitab tersebut merupakan dalil bahwa kitab-kitab itu datang dari Rabb
yang Maha Bijaksana dan Mengetahui segala kemaslahatan makhluknya.
Berita-berita alam semesta yang dapat disaksikan oleh realitas akan
kebenarannya yang didatangkan kitab-kitab itu juga merupakan dalil atau bukti
bahwa kitab-kitab itu datang dari Rabb yang Maha Kuasa untuk mewujudkan apa
yang diberitakan itu.
d. Bukti indera tentang wujud Allah dapat dibagi menjadi dua:
·
Kita dapat mendengar dan menyaksikan terkabulnya doa orang-orang yang
berdoa serta pertolongan-Nya yang diberikan kepada orang-orang yang mendapatkan
musibah. Hal ini menunjukkan secara pasti tentang wujud Allah.
Allah berfirman:
“Dan
(ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu ketika dia berdoa dan Kami memperkenankan
doanya, lalu Kami selamatkan dia beserta keluarganya dari bencana yang besar.”
(Al Anbiyaa 76) “(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu,
lalu diperkenankan-Nya bagimu…” (Al Anfaal 9)
Anas bin
Malik berkata, “Pernah ada seorang badui datang pada hari Jum’at. Pada waktu
itu Nabi tengah berkhotbah. Lelaki itu berkata, “Hai Rasul Allah, harta benda
kami telah habis, seluruh warga sudah kelaparan. Oleh karena itu mohonkanlah
kepada Allah untuk mengatasi kesulitan kami.” Rasulullah lalu mengangkat kedua
tangannya dan berdoa. Tiba-tiba awan mendung bertebaran bagaikan gunung-gunung.
Rasulullah belum turun dari mimbar, hujan turun membasahi jenggotnya. Pada hari
Jum’at yang kedua, orang badui atau orang lain berdiri dan berkata, “Hai Rasul
Allah, bangunan kami hancur dan harta benda pun tenggelam, doakanlah akan kami
ini (agar selamat) kepada Allah.” Rasulullah lalu mengangkat kedua tangannya,
seraya berdoa: “Ya Rabbku, turunkanlah hujan di sekeliling kami dan janganlah
Engkau turunkan sebagai bencana bagi kami.” Akhirnya beliau tidak
mengisyaratkan pada suatu tempat, kecuali menjadi terang (tanpa hujan).” (HR.
Al Bukhari)
· Tanda-tanda para nabi yang disebut
mukjizat, yang dapat disaksikan atau didengar banyak orang merupakan bukti yang
jelas tentang wujud Yang Mengutus para nabi tersebut, yaitu Allah, karena
hal-hal itu berada di luar kemampuan manusia. Allah melakukannya sebagai
pemerkuat dan penolong bagi para rasul.
Ketika
Allah memerintahkan Nabi Musa untuk memukul laut dengan tongkatnya, Musa
memukulkannya, lalu terbelahlah laut itu menjadi dua belas jalur yang kering,
sementara air di antara jalur-jalur itu menjadi seperti gunung-gunung yang bergulung.
Allah berfirman, yang artinya:
“Lalu Kami
wahyukan kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.” Maka terbelahlah
lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.” (Asy
Syu’araa 63)
Contoh
kedua adalah mukjizat Nabi Isa ketika menghidupkan orang-orang yang sudah mati;
lalu mengeluarkannya dari kubur dengan ijin Allah.
“…dan aku
menghidupkan orang mati dengan seijin Allah…” (Al Imran 49)
“…dan
(ingatlah) ketika kamu mengeluarkan orang mati dari kuburnya (menjadi hidup)
dengan ijin-Ku…” (Al Maidah 110)
Contoh
ketiga adalah mukjizat Nabi Muhammad ketika kaum Quraisy meminta tanda atau
mukjizat. Beliau mengisyaratkan pada bulan, lalu terbelahlah bulan itu menjadi
dua, dan orang-orang dapat menyaksikannya. Allah berfirman tentang hal ini,
yang artinya:
“Telah
dekat (datangnya) saat (Kiamat) dan telah terbelah pula bulan. Dan jika mereka
(orang-orang musyrik) melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan
berkata: “(Ini adalah) sihir yang terus-menerus.” (Al Qomar 1-2)
Tanda-tanda
yang diberikan Allah, yang dapat dirasakan oleh indera kita itu adalah bukti
pasti wujud-Nya.
2. Mengimani Rububiyah Allah
Mengimani
rububiyah Allah maksudnya mengimani sepenuhnya bahwa Dialah Rabb satu-satunya,
tiada sekutu dan tiada penolong bagi-Nya.
Rabb adalah
Yang berhak menciptakan, memiliki serta memerintah. Jadi, tidak ada Pencipta
selain Allah, tidak ada pemilik selain Allah, dan tidak ada perintah selain
perintah dari-Nya. Allah telah berfirman, yang artinya:
“…Ingatlah,
menciptakan dan memerintah hanya hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb semesta alam.”
(Al A’raaf 54)
“…Yang
(berbuat) demikian itulah Allah Rabbmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tidak mempunyai
apa-apa walaupun setipis kulit ari.” (Faathir 13)
Tidak ada
makhluk yang mengingkari kerububiyahan Allah, kecuali orang yang congkak sedang
ia tidak meyakini kebenaran ucapannya, seperti yang dilakukan Fir’aun ketika
berkata kepada kaumnya, ”Akulah tuhanmu yang paling tinggi.” (An Naazi’aat 24),
dan juga ketika berkata, “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan
bagimu selain aku.” (Al Qashash 38)
Allah
berfirman, yang artinya:
“Dan mereka
mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan mereka padahal hati mereka
meyakini (kebenaran)nya.” (An Naml 14)
Nabi Musa
berkata kepada Fir’aun: “Sesungguhnya kamu telah mengetahui bahwa tiada yang
menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Rabb Yang memelihara langit dan bumi
sebagai bukti-bukti yang nyata; dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir’aun,
seorang yang akan binasa.” (Al Israa’ 102)
Oleh karena
itu, sebenarnya orang-orang musyrik mengakui rububiyah Allah, meskipun mereka
menyekutukan-Nya dalam uluhiyah (penghambaan). Allah berfirman, yang artinya:
“Katakanlah:
“Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu
mengetahui?” Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah
kamu tidak ingat?” Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan
Yang Empunya ‘Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.”
Katakanlah: ‘Apakah kamu tidak bertaqwa?” Katakanlah: “Siapakah yang di
tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu, sedang Dia melindungi, tetapi
tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka
akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “(Kalau demikian), maka dari
jalan manakah kamu ditipu?” (Al Mu’minuun 84-89)
“Katakanlah:
“Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu
mengetahui?” Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “Maka apakah
kamu tidak ingat?” Katakanlah: “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan
Yang Empunya ‘Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab: “Kepunyaan Allah.”
Katakanlah: ‘Apakah kamu tidak bertaqwa?” Katakanlah: “Siapakah yang di
tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu, sedang Dia melindungi, tetapi
tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka
akan menjawab: “Kepunyaan Allah.” Katakanlah: “(Kalau demikian), maka dari
jalan manakah kamu ditipu?” (Al Mu’minuun 84-89)
“Dan
sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka?”,
niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan
(dari menyembah Allah)?” (Az Zukhruf 87) Perintah Allah mencakup perintah alam
semesta (kauni) dan perintah syara’ (syar’i). Dia adalah pengatur alam,
sekaligus sebagai pemutus segala perkara, sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya.
Dia juga pemutus peraturan-peraturan ibadah serta hukum-hukum muamalat sesuai
dengan tuntutan hikmah-Nya. Oleh karena itu barangsiapa menyekutukan Allah
dengan seorang pemutus ibadah atau pemutus muamalat, maka dia berarti telah
menyekutukan Allah serta tidak mengimani-Nya.
3.Mengimani Uluhiyah Allah
Artinya,
benar-benar mengimani bahwa Dialah ilah yang benar dan satu-satunya, tidak ada
sekutu bagi-Nya.
Al-Ilah
artinya “al-ma’luh”, yakni sesuatu yang disembah dengan penuh kecintaan serta
pengagungan.
Allah
berfirman, yang artinya:
“Allah
menyatakan bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang
menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan demikian). Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang
Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Al Imran 18)
Allah juga
berfirman tentang Nabi Yusuf yang berkata kepada dua temannya di penjara, yang
artinya: “Hai kedua temanku dalam penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang
bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Mahaperkasa? Kamu tidak
menyembah yang selain Allah, kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan
nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun
tentang nama-nama itu…” (Yusuf 40)
Orang-orang
musyrik tetap saja mengingkarinya. Mereka masih saja mengambil tuhan selain
Allah. Mereka menyembah, meminta bantuan dan pertolongan kepada tuhan-tuhan itu
dengan menyekutukan Allah.
Pengambilan
tuhan-tuhan yang dilakukan orang-orang musyrik ini telah dibatalkan oleh Allah
dengan dua bukti:
a. Tuhan-tuhan yang diambil itu
tidak mempunyai keistimewaan uluhiyah sedikit pun, karena mereka adalah
makhluk, tidak dapat menciptakan, tidak dapat menarik kemanfaatan, tidak dapat
menolak bahaya, tidak memiliki hidup dan mati, tidak memiliki sedikit pun dari
langit dan tidak pula ikut memiliki keseluruhannya. Allah berfirman, yang
artinya:
“Mereka mengambil
tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang tuhan-tuhan itu tidak
menciptakan apa pun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk
(menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil)
sesuatu kemanfaatan pun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan
tidak (pula) membangkitkan.” (Al Furqan 3)
“Katakanlah:
“Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah. Mereka tidak
memiliki (kekuasaan) seberat zarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka tidak
mempunyai suatu saham pun dalam (penciptaan) langit dan bumi, dan sekali-kali
tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya. Dan tiadalah berguna
syafaat di sisi Allah, melainkan bagi orang yang telah diijinkan-Nya memperoleh
syafaat…” (Saba’ 22-23)
Kalau
demikian keadaan tuhan-tuhan itu, maka sungguh sangat tolol dan sangat batil
bila menjadikan mereka sebagai ilah dan tempat meminta pertolongan.
b. Sebenarnya orang-orang musyrik
mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb, Pencipta, yang ditangan-Nya
kekuasaan segala sesuatu. Mereka juga mengakui bahwa hanya Dialah yang dapat
melindungi dan tidak ada yang dapat melindungi-Nya. Ini mengharuskan pengesaan
uluhiyah (penghambaan), seperti mereka mengesakan rububiyah (ketuhanan) Allah.
Allah
Ta’ala berfirman:
“Hai
manusia, sembahlah Rabbmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang
sebelummu, agar kamu bertaqwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan
bagimu dan langit sebagai atap. Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu
Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu;
karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu
mengetahui.” (Al Baqarah 21-22)
“Katakanlah:
“Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang
kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan
yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan
siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka katakanlah: “Mengapa kamu tidak
bertaqwa (kepada-Nya)?” Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Rabb kamu yang
sebenarnya. Tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka
bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?” (Yunus 31-32)
4.Mengimani Asma dan Sifat Allah
Iman kepada
nama-nama dan sifat-sifat Allah yakni menetapkan nama-nama dan sifat-sifat yang
sudah ditetapkan Allah untuk diri-Nya dalam kitab suci-Nya atau sunnah
Rasul-Nya dengan cara yang sesuai dengan kebesaran-Nya tanpa tahrif
(penyelewengan), ta’thil (penghapusan), takyif (menanyakan bagaimana?), dan
tamsil (menyerupakan).
Allah
berfirman, yang artinya:
“Allah
mempunyai asmaaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaaul
husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut)
nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah
mereka kerjakan.” (Al A’raaf 180)
Dalam
perkara ini ada dua golongan yang tersesat, yaitu:
1. Golongan
Mu’aththilah, yaitu mereka yang mengingkari nama-nama dan sifat-sifat
Allah atau mengingkari sebagiannya saja. Menurut perkiraan mereka, menetapkan
nama-nama dan sifat itu kepada Allah dapat menyebabkan tasybih (penyerupaan),
yakni menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.
Pendapat ini jelas keliru
karena:
a.
Sangkaan itu akan mengakibatkan hal-hal yang bathil atau salah, karena Allah
telah menetapkan untuk diri-Nya nama-nama dan sifat-sifat, serta telah
menafikan sesuatu yang serupa dengan-Nya. Andaikata menetapkan nama-nama dan
sifat-sifat itu menimbulkan adanya penyerupaan, berarti ada pertentangan dalam
kalam Allah serta sebagian firman-Nya akan menyalahi sebagian yang lain.
b. Kecocokan antara dua hal dalam
nama dan sifatnya tidak mengharuskan adanya persamaan. Anda melihat ada dua
orang yang keduanya manusia, mendengar, melihat, dan berbicara, tetapi tidak
harus sama dalam makna-makna kemanusiaannya, pendengarannya, penglihatannya,
dan pembicaraannya. Anda juga melihat beberapa binatang yang punya tangan,
kaki, dan mata, tetapi kecocokannya itu tidak mengharuskan tangan, kaki dan
mata mereka sama. Apabila antara makhluk-makhluk yang cocok dalam nama atau
sifatnya saja jelas memiliki perbedaan, maka tentu perbedaan antara Khaliq
(Pencipta) dan makhluk (yang diciptakan) akan lebih jelas lagi.
2.
Golongan Musyabbihah, yaitu golongan yang menetapkan nama-nama dan
sifat-sifat, tetapi menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Mereka mengira hal
ini sesuai dengan nash-nash Al Qur’an, karena Allah berbicara dengan hamba-Nya
dengan sesuatu yang dapat dipahaminya. Anggapan
ini jelas keliru ditinjau dari beberapa hal, antara lain:
a.
Menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya jelas merupakan sesuatu yang bathil,
menurut akal maupun syara’. Padahal tidak mungkin nash-nash kitab suci Al
Qur’an atau Sunnah rasul menunjukkan pengertian yang bathil.
b.
Allah Ta’ala berbicara dengan hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat
dipahami dari segi asal maknanya. Hakikat makna sesuatu yang berhubungan dengan
zat dan sifat Allah adalah hal yang hanya diketahui oleh Allah saja.
Apabila Allah menetapkan untuk
diri-Nya bahwa Dia Maha Mendengar, maka pendengaran itu sudah maklum dari segi
maknanya, yaitu menemukan suara-suara. Tetapi hakikat hal itu dinisbatkan
kepada pendengaran Allah tidak maklum, karena hakikat pendengaran jelas
berbeda, walau pada makhluk sekali pun. Jadi perbedaan hakikat itu antara
Pencipta dan yang diciptakan jelas lebih jauh berbeda.
Apabila Allah memberitahuan
tentang diri-Nya bahwa Dia bersemayam di atas Arsy-Nya, maka bersemayam dari
segi asal maknanya sudah maklum, tetapi hakikat bersemayamnya Allah itu tidak
dapat diketahui.
Buah Iman kepada Allah:
1. Merealisasikan pengesaan Allah
sehingga tidak menggantungkan harapan kepada selain Allah, tidak takut kepada
yang lain, dan tidak menyembah kepada selain-Nya.
2. Menyempurnakan kecintaan terhadap
Allah, serta mengagungkan-Nya sesuai dengan nama-nama-Nya yang indah dan
sifat-sifat-Nya yang mahatinggi.
Merealisasikan ibadah kepada Allah dengan
mengerjakan apa yang diperintah serta menjauhi apa yang dilarang-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar