Masa
Kerasulan
Percakapan
Khadijah dengan Waraqa b. Naufal ketika Muhammad sedang tidur. Khadijah
menatapnya dengan hati penuh kasih dan harapan, kasih dan harapan terhadap
orang yang tadi mengajaknya bicara itu.
Setelah dilihatnya ia tidur nyenyak, nyenyak dan tenang sekali, ditinggalkannya orang itu perlahan-lahan. Ia keluar, dengan pikiran masih pada orang itu, orang yang pernah menggoncangkan hatinya. Pikirannya pada hari esok, pada hari yang akan memberikan harapan baik kepadanya. Harapannya, suami itu akan menjadi nabi atas umat, yang kini tengah hanyut dalam kesesatan. Ia akan membimbing mereka dengan ajaran agama yang benar serta akan membawa mereka ke jalan yang lurus. Tetapi, sungguhpun begitu, menghadapi masa yang akan datang, ia merasa kuatir sekali, kuatir akan nasib suami yang setia dan penuh kasih-sayang itu. Dibayangkannya dalam hatinya apa yang telah diceritakan kepadanya itu. Dibayangkannya itu malaikat yang begitu indah, yang memperlihatkan diri di angkasa, setelah menyampaikan wahyu Tuhan kepadanya dan yang kemudian memenuhi seluruh ruangan itu. Selalu ia melihat malaikat itu kemana saja ia mengalihkan muka. Khadijah masih mengulangi kata-kata yang dibacakan dan sudah terpateri dalam dada Muhammad itu.
Semua itu dibentangkan kembali oleh Khadijah di depan mata hatinya. Kadang terkembang senyum di bibir, karena suatu harapan; kadang kecut juga rasanya, karena takut akan nasib yang mungkin akan menimpa diri Al-Amin kelak.
Tidak tahan ia tinggal seorang diri lama-lama. Pikirannya berpindah-pindah dari harapan yang manis sedap kepada kesangsian dan harap-harap cemas. Terpikir olehnya akan mencurahkan segala isi hatinya itu kepada orang yang sudah dikenalnya bijaksana dan akan dapat memberikan nasehat.
Untuk itu, kemudian ia pergi menjumpai saudara sepupunya (anak paman), Waraqa b. Naufal. Seperti sudah disebutkan, Waraqa adalah seorang penganut agama Nasrani yang sudah mengenal Bible dan sudah pula menterjemahkannya sebagian ke dalam bahasa Arab. Ia menceritakan apa yang pernah dilihat dan didengar Muhammad dan menceritakan pula apa yang dikatakan Muhammad kepadanya, dengan menyebutkan juga rasa kasih dan harapan yang ada dalam dirinya. Waraqa menekur sebentar, kemudian katanya: "Maha Kudus Ia, Maha Kudus. Demi Dia yang memegang hidup Waraqa. Khadijah, percayalah, dia telah menerima Namus Besar1 seperti yang pernah diterima Musa. Dan sungguh dia adalah Nabi umat ini. Katakan kepadanya supaya tetap tabah."
Khadijah pulang. Dilihatnya Muhammad masih tidur. Dipandangnya suaminya itu dengan rasa kasih dan penuh ikhlas, bercampur harap dan cemas. Dalam tidur yang demikian itu, tiba-tiba ia menggigil, napasnya terasa sesak dengan keringat yang sudah membasahi wajahnya. Ia terbangun, manakala didengarnya malaikat datang membawakan wahyu kepadanya:
"Orang yang berselimut! Bangunlah dan sampaikan peringatan. Dan agungkan Tuhanmu. Pakaianmupun bersihkan. Dan hindarkan perbuatan dosa. Jangan kau memberi, karena ingin menerima lebih banyak. Dan demi Tuhanmu, tabahkan hatimu." (Qur'an 74: 1 - 7)
Dipandangnya ia oleh Khadijah, dengan rasa kasih yang lebih besar. Didekatinya ia perlahan-lahan seraya dimintanya, supaya kembali ia tidur dan beristirahat.
"Waktu tidur dan istirahat sudah tak ada lagi, Khadijah," jawabnya. "Jibril membawa perintah supaya aku memberi peringatan kepada umat manusia, mengajak mereka, dan supaya mereka beribadat hanya kepada Allah. Tapi siapa yang akan kuajak? Dan siapa pula yang akan mendengarkan?"
Khadijah berusaha menenteramkan hatinya. Cepat-cepat ia menceritakan apa yang didengarnya dari Waraqa tadi. Dengan penuh gairah dan bersemangat sekali kemudian ia menyatakan dirinya beriman atas kenabiannya itu. Sudah sewajarnya apabila Khadijah cepat-cepat percaya kepadanya. Ia sudah mengenalnya benar. Selama hidupnya laki-laki itu selalu jujur, orang berjiwa besar ia dan selalu berbuat kebaikan dengan penuh rasa kasih-sayang. Selama dalam tahannuth, dilihatnya betapa besar kecenderungannya kepada kebenaran, dan hanya kebenaran semata-mata. Ia mencari kebenaran itu dengan persiapan jiwa, kalbu dan pikiran yang sudah begitu tinggi, membubung melampaui jangkauan yang akan dapat dibayangkan manusia, manusia yang menyembah patung dan membawakan kurban-kurban ke sana; mereka yang menganggap bahwa itu adalah tuhan yang dapat mendatangkan bencana dan keuntungan. Mereka membayangkan, bahwa itu patut disembah dan diagungkan. Wanita itu sudah melihatnya betapa benar ia pada tahun-tahun masa tahannuth itu. Juga ia melihatnya betapa benar keadaannya tatkala pertama kali ia kembali dari gua Hira', sesudah kerasulannya. Ia bingung sekali. Dimintanya oleh Khadijah, apabila malaikat itu nanti datang supaya diberitahukan kepadanya.
Bilamana kemudian Muhammad melihat malaikat itu datang, didudukannya ia oleh Khadijah di paha kirinya, kemudian di paha kanan dan di pangkuannya. Malaikat itupun masih juga dilihatnya. Khadijah menghalau dan mencampakkan tutup mukanya. Waktu itu tiba-tiba Muhammad tidak lagi melihatnya. Khadijah tidak ragu lagi bahwa itu adalah malaikat, bukan setan.
Sesudah peristiwa itu, pada suatu hari Muhammad pergi akan mengelilingi Ka'bah. Di tempat itu Waraqa b. Naufal menjumpainya. Sesudah Muhammad menceritakan keadaannya, Waraqa berkata: "Demi Dia Yang memegang hidup Waraqa. Engkau adalah Nabi atas umat ini. Engkau telah menerima Namus Besar seperti yang pemah disampaikan kepada Musa. Pastilah kau akan didustakan orang, akan disiksa, akan diusir dan akan diperangi. Kalau sampai pada waktu itu aku masih hidup, pasti aku akan membela yang di pihak Allah dengan pembelaan yang sudah diketahuiNya pula." Lalu Waraqa mendekatkan kepalanya dan mencium ubun-ubun Muhammad. Muhammadpun segera merasakan adanya kejujuran dalam kata-kata Waraqa itu, dan merasakan pula betapa beratnya beban yang harus menjadi tanggungannya.
Sekarang ia jadi memikirkan, bagaimana akan mengajak Quraisy supaya turut beriman; padahal ia tahu benar mereka sangat kuat mempertahankan kebatilan itu. Mereka bersedia berperang dan mati untuk itu. Ditambah lagi mereka masih sekeluarga dan sanak famili yang dekat.
Sungguhpun begitu, tetapi mereka dalam kesesatan. Sedang apa yang dianjurkannya kepada mereka, itulah yang benar. Ia mengajak mereka, agar jiwa dan hati nurani mereka dapat lebih tinggi sehingga dapat berhubungan dengan Allah Yang telah menciptakan mereka dan menciptakan nenek-moyang mereka; agar mereka beribadat hanya kepadaNya, dengan penuh ikhlas, dengan jiwa yang bersih, untuk agama. Ia mengajak mereka supaya mereka mendekatkan diri kepada Allah dengan perbuatan yang baik, dengan memberikan kepada orang berdekatan, hak-hak mereka, begitu juga kepada orang yang dalam perjalanan; agar mereka menjauhkan diri dari menyembah batu-batu yang mereka buat jadi berhala yang menurut dugaan mereka akan mengampuni segala dosa mereka dari perbuatan angkara-murka yang mereka lakukan, dari menjalankan riba dan memakan harta anak piatu. Penyembahan mereka demikian itu membuat jiwa dan hati mereka lebih keras dan lebih membatu dari patung-patung itu. Ia memperingatkan mereka agar mereka mau melihat ciptaan Tuhan yang ada di langit dan di bumi; supaya semua itu menjadi tamsil dalam jiwa mereka serta kemudian menyadari betapa dahsyat dan agungnya semua itu. Dengan kesadaran demikian mereka akan memahami kebesaran undang-undang Ilahi yang berlaku di langit dan di bumi. Selanjutnya, dengan ibadatnya itu akan memahami pula kebesaran Al Khalik Pencipta alam semesta ini, Yang Tunggal, tiada bersekutu. Dengan demikian mereka akan lebih tinggi, akan lebih luhur Mereka akan diisi oleh rasa kasih-sayang terhadap mereka yang belum mendapat petunjuk Tuhan, dan akan berusaha ke arah itu. Mereka akan berlaku baik terhadap semua anak piatu, terhadap semua orang yang malang dan lemah. Ya! Ke arah itulah Tuhan memerintahkannya, supaya ia mengajak mereka.
Akan tetapi, itu jantung yang sudah begitu keras, jiwa yang sudah begitu kaku, sudah jadi kering dalam menyembah berhala seperti yang dilakukan oleh nenek-moyang mereka dahulu. Di tempat itu mereka berdagang, dan membuat Mekah menjadi pusat kunjungan penyembah berhala! Akan mereka tinggalkankah agama nenek-moyang mereka dan mereka lepaskan kedudukan kota mereka yang berarti suatu bahaya bilamana sudah tak ada lagi orang yang akan menyembah berhala? Lalu bagaimana pula akan membersihkan jiwa serupa itu dan melepaskan diri dari noda hawa-nafsu, hawa-nafsu yang akan menjerumuskan mereka, sampai kepada nafsu kebinatangannya, padahal dia sudah memperingatkan manusia supaya mengatasi nafsunya, menempatkan diri di atas berhala-berhala itu? Kalau mereka sudah tidak mau percaya kepadanya, apalagi yang harus ia lakukan? Inilah yang menjadi masalah besar itu.
Masa
kerasualan Nabi Muhammad SAW merupakan puncak kematangan hidupnya, sebab beliau
menjadi “manusia pilihan” (al-musthafa). Beliau adalah sosok yang mendapatkan
mandat dari Allah SWT untuk menerima wahyu Al-Qur’an, sebuah mukjizat luarbiasa
karena hingga kini tidak ada seorangpun yang mampu menandinginya. Menjelang
usia 40 tahun, Nabi Muhammad SAW mempunyai kebiasaan menyendiri dan berdoa
tiada henti (tahandust) di gua Hira. Tradisi ini sebenarnya sebuah kebiasaan
yang biasa di lakukan para pengikut hanifisme. Menurut Husei Haikal, pada saat
itu, tradisi ini adalah sebuah pemandangan yang berkembang di Mekkah dalam
rangka mendekatkan diri kepada Tuhan.
Nabi Muhammad SAW adalah seorang yang menjalani tradisi tersebut secara rutin.
Beliau memilih jalan untuk membersihkan diri dari kecenderungan-kecenderungan
duniawi yang mulai merebak di Mekkah pada saat itu, khususnya di kalangan
Quraisy. Biasanya, beliau menjalani perenungan di Gua Hira pada bulan Ramadhan,
sebagaimana orang-orang penganut hanifisme. Muhammad al-Ghazali menegaskan,
sebagaimana orang Quraisy juga gemar melaksanakan perenungan di gue tersebut.
Misalnya, Zayd bin ’Amr bin Nafil yang tercatat sebagai salah satu penganut
hanifisme di Mekkah. Zayd juga mendeklarasikan kepada warga Mekkah mengenai
keyakinannya secara terbuka walaupun ia sering mendapat penentangan.
Gua Hira
dalah gua kecil yang terdapat di sebuah bukit atau gunung Nur, atau dikenal
dengan jabal Nur, di timur-laut masjidil Haram. Adapula yang menyebutnya dengan
jabal Hira. Tinggi bukit tersebut sekitar 621 meter.Utuk sampai ke gua
tersebut di butuhkanwaktu sekitar 1 jam, tergantung pada kekuatan fisik
seseorang yang mendakinya. Panjang guanya sendiri sekitar 6 meter dan lebar
sekitar 1,30 meter dan tinggi 2 meter. Gua Hira memiliki sebuah pintu
masuk yang sangat sempit, dan karena tidak terlalu luas,gua ini hanya bisa
menampung 2 orang.
Wahyu yang turun di Gua Hira semakin meneguhkan pentingnya monoteisme,
ketauhidan. Pada hakikatnya, Islam sebagai Agama meyungsung peran tersebut
sebagai kesinambungan dari ajaran yang di bawa oleh Nabi Ibrahim. Wahyu
tersebut juga memedukan dimensi spiritualitas dengan rasionallitas karena
menyinggung jalan menuju Tuhan dengan membaca. Pada awalnya, Mabi Muhammad SAW
sangat terkejut dengan perintah membca tersebut. Namun, setelah di Pandu
Jibrli, Beliau pun memahami esesnsi pesan yang terkandung di dalamnya.
Sejak saat itu, seluruh hidup Nabi Muhammad SAW berada di tangan Allah SWT. Seluruh
tindakan-indakannya di pandu oleh wahyu yang di rekam oleh para sahabat, baik
melalui hafalan maupun tulisan. Karena itu, tindak-tanduk Nabi Muhammad SAW
selalu mengandng nlai agung. Siti Aisyah menyebutkan, “tingkah-lakuny
adalah Al-Qur’an.”
“ Dan, kami telah wahyukan kepadamu sebuah ruh atas perintah kami. Kamu tidak akan mengetahui bahwa apa itu kitab dan apa itu iman. Akan tetapi, kami telah menjadikan cahaya sebagai petunjuk embagi siapa pun yang di kehendaki dari hamba-hamba kami. Dan sesungguhnya kami akan memberi petunjuk ke jalan yang lurus. Yaitu, jalan Tuhan yang memiliki segala hal yang berada di langit dan dimuka bumi..” (QS. Al-zukhuruf: 52-53).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar