Tanda-tanda Orang yang Beriman Kepada Allah
1. Taqwa.
Taqwa adalah menjaga diri dari segala perbuatan dosa dengan
melaksanakan segala apa yang diperintah oleh Allah SWT dan juga meninggalkan
apa yang telah dilarang-Nya. Keimanan seseorang kepada Allah SWT belum
sempurna jika ia tidak bertaqwa, yakni mewujudkannya dalam bentuk yang nyata
dengan beramal shaleh atau berbuat kebaikan kepada orang lain.
Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita untuk selalu
bertaqwa dimana saja kita berada. Jika kita berada di pasar maka kita harus
menunjukkan ketaqwaan dalam urusan kita di pasar, jika kita berada dalam klas
yang sedang belajar kita juga harus bertaqwa kepada Allah dalam urusan menuntut
ilmu dan mengajarkannya dan begitulah seterusnya dimana saja kita berada kita
harus bertaqwa kepada Allah SWT tanpa harus ragu-ragu untuk melakukannya.
Allah
SWT sama sekali tidak membedakan derajat manusia berdasarkan suku, bangsa,
bahasa, dan budaya, akan tetapi Allah SWT membedakan perbedaan antara seseorang
dengan yang lainnya dengan taqwanya, barang siapa yang paling bertaqwa, maka
dialah yang derajatnya paling mulia di sisi Allah SWT.
2. Malu.
Tanda keimanan yang amat penting dari seseorang yaitu al haya’ atau mempunyai rasa malu.
Maksud dari mempunyai rasa malu disini bukan kita merasa malu berbicara di
depan orang banyak sehingga merasakan panas dingin jika berbicara di depan umum
atau kita merasa malu dengan penampilan yang kurang meyakinkan atau kurang
keren di depan teman-teman kita dalam suatu acara. Akan tetapi, rasa malu yang
harus kita tanam sebagai orang yang beriman yaitu malu jika kita tidak melakukan perbuatan atau
hal-hal yang telah dibenarkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.
Oleh karena itu sangatlah penting bagi kita mempunyai
rasa malu seperti ini, agar tentunya tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan
yang tidak diinginkan. Bahkan, keimanan dengan rasa malu menjadi sesuatu yang
tidak bisa dipisahkan dan tentunya tidak boleh juga kita pisah-pisahkan sendiri
seperti dua sisi mata uang yang tidak diakui dan tidak bisa digunakan sebagai
alat pembayaran yang sah.
Bila malu tidak ada pada jiwa seseorang yang mengaku beriman, pada hakikatnya
dia tidak beriman. Haya’ (rasa malu) terdapat dua macam yaitu:
1. Malu
naluri (haya’ nafsaniy), yaitu rasa
malu yang dikaruniakan Allah kepada setiap diri manusia, seperti rasa malu
kelihatan auratnya atau malu bersenggama di depan orang lain. Dalam hal
ini tentu kita harus selalu tunduk dan patuh kepada Allah SWT dengan segala
ketentuan-Nya dengan mengkaruniakan kita malu naluri. Bila kita memiliki rasa
malu terhadap diri sendiri dan juga kepada orang lain pasti kita akan selalu
menjaga aurat jangan sampai kelihatan dihadapan orang lain. Oleh karena itu,
orang yang tidak memiliki rasa malu harus diwaspadai, sebab kalau dia telah
merusak citra dirinya sendiri, sangat mungkin baginya untuk merusak citra orang
lain.
2. Malu imani
(haya’imaniy), ialah rasa
ma!u yang bisa mencegah seseorang dari melakukan perbuatan maksiat karena takut
kepada Allah SWT. Setiap muslim haruslah memiliki sifat malu kepada Allah yang
sebenar-benarnya, malu yang ditunjukkan dimana saja, kapan saja, dan dalam
situasi serta kondisi yang bagaimanapun juga. Bukan hanya malu untuk menyimpang
ketika berada di masjid dan sejenisnya, tapi tidak malu-malu untuk melakukan
penyimpangan di pasar, kantor, bahkan saat sendirian. Oleh karena itu, menjadi
sangat penting bagi kita untuk selalu memperkokoh rasa malu sehingga tidak ada
kejelekan sedikitpun dari sifat malu tersebut.
3. Syukur.
Tanda keimanan seseorang yang amat penting adalah
selalu bersyukur. Allah SWT menganugerahkan nikmat yang banyak kepada manusia.
Setiap detik dalam kehidupan manusia tidak akan pernah lepas dengan yang namanya
nikmat Allah SWT.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya manusia selalu
bersyukur kepada Allah SWT. Syukur berarti “berterima kasih kepada Allah SWT”.
Dalam arti lain, syukur ialah memanfaatkan nikmat yang diberikan Allah SWT
kepada kita sesuai dengan kehendak yang memberikannya.
Bersyukur mengandung banyak manfaat, diantaranya yaitu
mengekalkan dan menambah nikmat itu pula dengan nikmat yang lain yang
berlimpah, Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami
akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku)
maka sesungguhnya azab-Ku sangatlah pedih” (QS Ibrahim [14]:7).
Ada tiga
macam cara kita bersyukur kepada Allah SWT:
1. Bersyukur
dengan hati, yakni
mengakui dan menyadari bahwa nikmat yang diperolehnya berasal dari Allah SWT.
2. Bersyukur
dengan lisan, yaitu
dengan mengucapkan “Alhamdulillah” yang berarti segala puji bagi Allah.
3. Bersyukur
dengan perbuatan, seperti
melakukan perbuatan yang baik, sesuai dengan tuntutan agama.
Allah SWT melimpahkan nikmat yang banyak kepada
manusia. Secara garis besar nikmat Allah terbagi atas dua macam yaitu nikmat
yang menjadi tujuan dan nikmat yang menjadi alat untuk mencapai tujuan.
Ciri-ciri nikmat yang pertama adalah kekal, diliputi kebahagiaan dan kesenangan,
sesuatu yang mungkin dicapai, dan segala kebutuhan terpenuhi. Adapun
nikmat yang kedua meliputi kebersihan
jiwa dalam bentuk iman dan akhlak yang mulia, kelebihan tubuh seperti kesehatan
dan kekuatan, hal-hal yang membawa kesenangan jasmani, seperti harta dan
kekuasaan, dan hal-hal yang membawa sifat keutamaan seperti pertolongan dan
lindungan dari Allah SWT.
4. Sabar.
Yang terakhir atau yang Keempat dari tanda keimanan
seseorang yaitu sabar. Sabar berasal dari bahasa Arab yaitu shabara-yashbiru-shabran yang artinya
menahan atau
mengekang.
Secara istilah sabar yaitu menahan diri dari bersikap,
berbicara, dan bertingkah laku yang tidak dibenarkan oleh Allah SWT.
Sabar merupakan bagian yang penting dari iman. Dalam
hadits yang diriwayatkan oieh Abu Nu’aim, Rasulullah SAW bersabda bahwa sabar
adalah sebagian dari iman. Kedudukan sabar bagi iman sangat penting, seperti
kedudukan hari Arafah dalam ibadah haji.
Nabi SAW melukiskan sabar sebagai barang yang sangat
bernilai tinggi di surga. la juga pemah berkata, “sabar terhadap sesuatu yang engkau benci merupakan kebajikan yang besar”
(HR. At-Tirmidzi).
5. Ridha dengan Keputusan Allah
Ridha berarti menerima keputusan kalah atau menang dengan hati
yang lapang. Jika mendapat kemenangan maka siap untuk menjalankan tugas
sebagai tanda kesyukuran kepada Tuhan, dan jika dinyatakan kalah, maka terima
dengan hati yang lapang, dan merasa itu lebih baik daripada menang. Seorang
ulama tasauf, Ibnu Athaillah Sakandari menyatakan: “Keridhaan adalah
mengarahkan perhatian hati kepada ketentuan Tuhan bagi si hamba dan
meninggalkan ketidaksenangan“. Seorang ulama yang lain, Ruwaim menyatakan:’
Keridhaan adalah tenangnya hati dalam menjalani ketetapan Allah.“
Tidak ada komentar:
Posting Komentar